Keluarga masa kini berbeda dengan keluarga zaman dulu. Dalam
ikatan keluarga, orang-orang mengalami pergolakan dan perubahan hebat,
khususnya mereka yang hidup di kota. Hasil peninjauan terhadap
keluarga-keluarga di daerah adalah mereka belum mengalami maupun menikmati
hasil kemajuan teknologi, kemajuan dalam dunia industri dan sebagainya. Karena
itu, gambaran mengenai ikatan dan fungsi keluarga jauh berbeda jika
dibandingkan dengan keluarga yang berada di tengah segala kemewahan materi.
Sebenarnya keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas selaku penerus
keturunan. Dalam bidang pendidikan, keluarga merupakan sumber pendidikan utama,
karena segala pengetahuan dan kecerdasan intelektual manusia diperoleh pertama
kali dari orangtua dan anggota keluarganya sendiri. Keluarga merupakan produsen
sekaligus konsumen, yang berarti harus mempersiapkan dan menyediakan segala
kebutuhan sehari-hari – seperti; sandang, pangan, dan papan. Setiap anggota
keluarga saling membutuhkan satu sama lain, agar mereka dapat hidup lebih
senang dan tenang. Hasil kerja mereka harus dinikmati bersama.
Sebaliknya keluarga masa kini sudah banyak kehilangan fungsi
dan artinya. Fungsi pendidikan sudah diserahkan pada lembaga-lembaga pendidikan
seperti sekolah, sehingga tugas orangtua dalam memperkembangkan segi intelek
anak menjadi jauh lebih ringan. Peralatan yang serba modern dan mekanis,
mengganti tenaga manusia dengan tenaga mesin dan listrik, mengakibatkan tenaga
manusia tidak lagi dibutuhkan. Misalnya, untuk memperoleh pakaian baru, tidak
perlu menunggu ibu menenunnya, melainkan cukup membeli pakaian jadi. Sehingga
acap kali timbul ekses dari kalangan mereka berpandangan individualistis yang
mulai menyebar luas dan menyusup ke berbagai lapisan masyarakat, dengan pola
hidup yang menitikberatkan kesenangan bagi individu itu sendiri dan yang
menganggap bahwa tidak perlu lagi membentuk keluarga supaya tidak terhalang dan
dibebani tanggung jawab kepada keluarga. Pandangan ini sebenarnya keliru,
karena hanya menonjolkan kepuasan kebutuhan badani. Hidup bersama tanpa tanggung
jawab atas kesejahteraan orang lain, berarti mengambil kesenangan dan
keuntungan tanpa menghiraukan individu lainnya.
Akhirnya kesatuan keluarga hanya dianggap sekedar performa.
Hubungan antarpribadi semakin jauh dan melemah, sehingga akhirnya arti pribadi
mengalami suatu perubahan. Beberapa kebutuhan dasar individu sebagai suatu
pribadi, dengan cara pandangan hidup individualistis tidak lagi dipenuhi,bahkan
tidak lagi diperhitungkan sama sekali. Karena itu bisa timbul frustrasi, yaitu
keadaan tidak tercapainya suatu keingian atau kebutuhan dasar yang mendorong
tingkah laku seseorang. Frustrasi ini dapat mempengaruhi kelakuan seseorang
sedemikian mendalamnya, sehingga timbul peristiwa yang tidak terduga, sekalipun
lingkungan hidupnya sudah mencapai taraf kehidupan yang cukup tinggi.
Peraturan-peraturan yang sudah sedemikian berakar dan mengatur seluruh seluk
beluk kehidupan akhirnya dilanggar begitu saja.
Beberapa kelompok ahli berusaha mengatasi masalah-masalah
tersebut dengan cara mencari sumber permasalahan sehingga memungkinkan
mengobati penyebabnya terlebih dahulu dengan akar-akarnya, sambil berharap
masalah akan teratasi. Mereka meneliti setiap individu yang terlibat dalam
tindakan kriminal, kenakalan anak, dan kenakalan yang belum melanggar hukum.
Ternyata banyak diantaranya mengalami masalah keluarga. Persoalan sering
bersumber pada rumah yang tidak dialami oleh keluarga dalam arti sesungguhnya,
melainkan oleh individu –individu yang secara kebetulan tinggal bersama, tanpa
mengalami perasaan aman yang wajar diperoleh melalui ikatan kekeluargaan. Ada
pula yang tinggal dalam satu gedung mewah, tetapi bagi mereka gedung itu
bukanlah sebuah “rumah” mereka tinggal
bersama karena “kebetulan” berasal dari hubungan seorang laki-laki dengan
seorang perempuan, tanpa ikatan emosional sebagai anak-ayah-ibu. Keadaan tanpa
hubungan emosional ini menimbulkan perasaan ketidakpuasan, yang akhirnya
meletus dalam ledakan-ledakan emosional yang menggemparkan lingkungannya. Dasar
kepribadian seseorang terbentuk sebagai hasil perpaduan antara warisan sifat,
bakat orangtua dan lingkungan di mana ia berada dan berkembang. Lingkungan
pertama yang mula-mula memberikan pengaruh mendalam adalah lingkungan
keluarganya sendiri. Dari anggota keluarganya itu, yaitu ayah, ibu dan saudara-saudaranya,
si anak memperoleh segala kemampuan dasar, baik intelektual maupun sosial.
Bahkan penyaluran emosi banyak ditiru dan dipelajarinya dari anggota-anggota
lain di keluarganya. Jadi, dapat dikatakan bahwa anak yang tidak pernah
merasakan kasih sayang, juga tidak dapat menyatakan kasih sayang terhadap orang
lain. Sikap, pandangan dan pendapat orangtua dan anggota keluarga lainnya
dijadikan model oleh si anak dan kemudian menjadi sebagian dari tingkah laku
anak itu sendiri.
Bila kita tinjau lebih mendalam lagi, hati nurani seseorang
tidak mungkin terbentuk tanpa usaha dari dirinya sendiri maupun dari luar. Hati
nurani seseorang tidak dapat berfungsi dengan baik sebagai sensor atas
perbuatannya, bila dia tidak mempunyai kemampuan intelektual untuk mengambil
isi dan arti dari segala hal yang dilihatnya dilingkungan keluarga serta
dialaminya melalui ajaran agama, etika, dan pelajaran-pelajaran lainnya. Jadi
walaupun contoh dan teladan di sekitarnya patut ditiru dan dijadikan petunjuk
bagi hidupnya, ia tidak akan dapat mengikutinya, karena kemampuan dan
pengertiannya terlalu rendah. Sebaliknya, sekalipun seseorang cukup cerdas dan
mampu mengambil inti sari dari segala rupa ajaran, ia belum tentu memiliki hati
nurani yang dapat berfungsi sebagai pengarah bagi perbuatan-perbuatannya
apabila dalam lingkungan hidupnya tidak terdapat contoh atau tokoh yang dapat
dijadikan teladan olehnya. Bahkan lingkungan yang menyajikan tokoh-tokoh dan
ajaran-ajaran yang menyesatkan dan secara etis-moral tidak dapat dipertanggungjawabkan
akhirnya akan membentuk hati nurani yang
isinya tidak mengarah ke tujuan yang mulia, luhur dan pantas, melainkan hanya
mementingkan kesenangan diri sendiri tanpa menghiraukan tuntutan dari
lingkungannya. Dalam keadaan demikian, tidaklah mustahil akan timbul kerusuhan
kecil yang mungkin tidak berarti maupun kekacauan umum yang luas dan terasa
pengaruhnya dalam hidup masyarakat.
Dengan demikian, betapa pun tingginya taraf kemajuan
teknologi yang dicapainya dan kenikmatan hidup yang diperolehnya, taraf
tersebut tidak dapat dipertahankan bila pribadi yang menjalaninya tidak
memiliki kepribadian yang terbentuk sempurna. Artinya tidak mempunyai
kepribadian yang bertanggung jawab secara etis dan moral. Demi terciptanya suatu
masyarakat yang aman dan sentosa, haruslah diambil tindakan dalam rangka
bimbingan terhadap pribadi-pribadi yang membentuk masyarakat maupun bangsa
tersebut. Terlebih dahulu harus diusahakan supaya pribadi-pribadi dibimbing dan
dikembangkan sedemikian rupa sehingga dalam perkembangannya akan menjadi
manusia yang bertanggung jawab penuh secara etis-moral terhadap Tuhan, nusa dan
bangsa. Mewujudkan manusia yang berkarakter dengan tanggung jawab penuh ini
hanya mungkin dilakukan melalui suatu masa perkembangan dan pergolakan yang cukup
sulit dan berliku-liku.
Lingkungan yang optimal bagi perkembangan kepribadian
yang wajar adalah penting sekali. Lingkungan pertama yang harus diusahakan
sebaik-baiknya sebagai lingkungan yang menguntungkan adalah lingkungan yang
mula-mula dimasuki individu kecil, yakni keluarganya. Keluarga dan suasana
hidup keluarga sangat berpengaruh atas taraf-taraf permulaan perkembangan anak
dan banyak menentukan apa yang kelak akan terbentuk-sikap keras hati atau sikap
lemah lembut adalah tabah-serta dasar-dasar kepribadian lainnya. Keutuhan
keluarga dan keserasian yang menguasai suasana di rumah merupakan salah satu
faktor penting. Demikian pula sosok ayah dan ibu sebagai pengisi hati nurani
yang pertama harus melakukan tugas ini dengan penuh tanggung jawab dalam suasana
kasih sayang antara pengasuh (orangtua) dengan yang diasuh (anak).