Selasa, 29 Oktober 2013

Mengenal Gejala dan Penyebab Gangguan Jiwa


Mengkaji hasil Seminar Nasional tentang Psikologi Menyambut Hari Kesehatan Dunia.
Oleh : Suryani, SKp., MMSc, PhD.

Pada tahun 2008 WHO menyatakan bahwa secara global terdapat 24 juta orang yang hidup dengan gangguan Skizofrenia. Sementara pada tahun sebelumnya yaitu 2007, Riskesdas mencatat angka rata-rata nasional orang yang menderita gangguan jiwa berat (skizofrenia) sebesar 0,46% atau sekitar 1 juta penduduk, sementara yang mengalami gangguan mental emosional seperti cemas dan depresi ada direntang usia 15 tahun keatas dengan jumlah mencapai 11,6% atau sekitar 19 juta penduduk. Dari data tersebut dikaji pula mengenai dampak yang dihasilkan atas penyakit tersebut yakni kerugian ekonomi yang mencapai angka fantastis sebesar 20 Triliun, faktor paling banyak yang menyumbang pencapaian angka fantastis tersebut ialah berkurangnya pendapatan perkapita penduduk sebab mereka tidak lagi produktif untuk bekerja, berkarya serta menjalani rutinitas sehari-hari, disamping itu kerap kali mereka melakukan pengerusakan terhadap sarana dan fasilitas umum. Kini beberapa ahli di bidang kesehatan jiwa dan psikolog menyampaikan pernyataan mengejutkan tentang perkembangan kesehatan jiwa yang berlaku bagi siapapun yaitu “Di masa mendatang memasuki era globalisasi trend penyakit gangguan jiwa bukan lagi karena permasalahan fisik yang dialami oleh kebanyakan orang, namun lebih kepada perasaan cemas, low self esteem, emosional, hingga depresi” hal tersebut didasarkan atas sulitnya persaingan untuk mendapatkan kenyamanan atas tingkat ekonomi.

Keadaan atas kejiwaan seorang, secara mudah dipahami dengan mengasosiasikannya kedalam garis rentang. (seperti yang diuraikan berikut)

                0---------------------------------------------------0
gangguan jiwa ringan                                            gangguan jiwa berat


Mari cermati garis lurus tersebut. Jika didapati garis tersebut menunjukan arah semakin ke kiri, maka sesuai dengan keterangan garis rentang di atas kita dapat menyebutkan bahwa ybs mengalami kesehatan jiwa yang baik. Begitupun sebaliknya, jika arah dalam garis tersebut menunjukan titik yang semakin berada di sebelah kanan akan menggambarkan bahwa ybs mengalami kesehatan jiwa yang buruk atau sangat buruk. Hanya saja pertanyaannya ialah “kapan keadaan jiwa seseorang cenderung kearah kiri? , kapan keadaan jiwa seseorang cenderung kearah kanan? .“  Namun perlu diingat, setiap orang sudah pasti pernah mengalami gangguan jiwa (Stuart&Laraia, 2001)

Gangguan jiwa dapat dibedakan menjadi dua jenis yakni :

Ringan
Berat
Cemas
Skizofrenia
Depresi
Bipolar Disorder
Psikosomatis
Psikotik lainnya
Kekerasan


Berikut uraian mengenai tanda dan gejala cemas oleh (Hawari, 2001) ialah ; adanya kekhawatiran, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa tegang, tidak tenang/gelisah, mudah terkejut, takut akan kesendirian, takut pada keramaian atau banyak orang, gangguan pola pikir, sering mengalami mimpi-mimpi yang menegangkan, gangguan konsentrasi/daya ingat, serta keluhan somatik (rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdenging, jantung berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan pada kantong kemih, dan sakit kepala). Jika anda mengalami beberapa keluhan diatas secara berkepanjangan, maka ada baiknya segera konsultasikan masalah tersebut kepada psikolog untuk memberikan beberapa terapi kepada anda sehingga anda dapat menjalani rutinitas dengan lebih bersemangat serta kembali produktif.

Berikut uraian mengenai tanda dan gejala depresi oleh (Hawari, 2001) ialah ; dihantui rasa sedih yang terus menerus, mengalami rasa putus asa dan pesimis, adanya rasa bersalah, memiliki perasaan tidak berharga/tidak berdaya, kehilangan minat akan banyak hal yang sebelumnya menjadi kegemaran, energi lemah bahkan menjadi lambat, sulit tidur (insomnia) atau tidur berlebihan (hiperinsomnia), sulit makan atau rakus makan (menjadi kurus atau kegemukan), menjadi tidak tenang dan gampang tersinggung, terkadang berfikir ingin mati atau bunuh diri. Pemaparan atas gejala depresi terlihat lebih kompleks dan cenderung lebih parah dari gejala kecemasan, hal tersebut karena gejala ini merupakan lanjutan atas gejala cemas. Oleh sebab itu jika anda merasakan beberapa gejala dari depresi segeralah konsultasikan masalah tersebut kepada dokter psikiater agar diberi rujukan beberapa obat untuk menenangkan pikiran anda, selanjutnya barulah anda meminta rujukan untuk bertemu ahli psikologis atau psikolog agar mendapatkan penanganan terapi yang tepat atas keluhan yang anda alami.

Mengenai penyebab gangguan jiwa, secara umum dinyatakan melalui dua pendekatan yaitu ; gangguan jiwa disebabkan oleh suatu permasalahan spesifik yang tidak kita ketahui (Mohr, 2003.) Merujuk atas pernyataan tsb maka, hal ini erat sekali dengan banyak kasus yang terjadi di Indonesia tentang pendapat common sense untuk gangguan jiwa bahwa orang yang mengalami perilaku menyimpang (bicara, tertawa, bahkan menangis sendiri, serta kehilangan kesadaran atas value atau norma yang terjadi di masyarakat) disebutkan karena kutukan atas perbuatannya yang tidak menyenangkan kepada Allah SWT atau karena kemasukan suatu hal gaib yang tidak dapat dijelaskan dengan pemaparan ilmiah. Pendapat lain menyatakan bahwa gangguan jiwa disebabkan atas beberapa faktor (multicausal). Pendapat kedua lebih sering diungkapkan oleh ahli kejiwaan sesuai dengan pendekatan pengetahuan tentang ilmu jiwa.

Pendekatan multicausal yang mengungkapkan penyebab gangguan kejiwaan memberikan pendapatnya bahwa gangguan kejiwaan yang terjadi pada seseorang tidaklah hanya berasal dari satu penyebab saja, melainkan dari banyak faktor, yakni ; faktor biologis, pengalaman trauma masa lalu, faktor genetik/keturunan, faktor copping dengan pendekatan yang kurang tepat, penyimpangan struktur dan fungi otak, sert kurangnya pemahaman dan keyakinan tentang agama.

Secara biologis, seseorang yang mengalami gangguan jiwa telah memiliki ketidak seimbangan dalam fungsi beberapa organ otaknya, berupa gangguan neurotransmitter serta disfungsi sistem limbic. Pengalaman atas trauma masa lalu bagi penderita gangguan jiwa juga mendapatkan perhatian khusus bagi psikolog, hal tersebut dikarenakan peristiwa tidak menyenangkan yang pernah dialami oleh pasien gangguan jiwa akan terus menghantui mereka disetiap rentang kehidupan. Beberapa kasus kekerasan (fisik, seksual, emosional) menjadi pemicu untuk mengalami halusinasi yang berlebihan. Coba bayangkan, pernahkan anda mengalami kekerasan seperti percobaan pembunuhan atas diri anda dan orang terdekat anda, atau pernahkan anda merasakan menjadi korban atas kekerasan yang dilakukan teman sekolah anda, atau pernahkan anda membayangkan diri anda dibanjiri dengan pukulan atau kekerasan lainnya yang datang dari keluarga terdekat anda. Pengalaman masa lalu yang sangat menyakitkan sekaligus memilukan dan menyedihkan seperti itulah yang membekas menjadi trauma bagi orang yang mengalami gangguan jiwa sebab sepanjang hidup mereka selalu dihantui dengan perasaan takut, cemas, dan was-was atas peristiwa mencekam tersebut.

Beberapa kasus kekerasan seksual yang melatarbelakangi trauma masa lalu orang yang mengalami gangguan kejiwaan antara lain; pernahkan anda membayangkan jiwa anda menjadi korban pemerkosaan orang yang tidak bermoral, apakah itu orang yang tidak anda kenal sebelumnya atau orangtua anda sendiri, kerabat terdekat serta atasan anda, pembantu rumah anda, atau bahkan pacar anda. Dan pernahkah anda membayangkan diri anda direndahkan oleh kerabat terdekat atau siapapun yang mungkin anda kenal dengan menjadi teman masturbasi atau onani. Seperti itulah gambaran beberapa peristiwa pilu yang pernah dialami orang dengan gangguan kejiwaan. Umumnya mereka tidak dapat menceritakan peristiwa memalukan tersebut kepada siapapun, sehingga tersimpanlah sampah batin atas perasaan kesal dan geram atas perilaku keji tersebut sehingga jiwa mereka tergoncang hebat dan mereka mengalami kecemasan dan halusinansi yang berlebihan.

Faktor genetik juga menyumbang peranan bagi kesehatan jiwa seseorang, hal tersebut dikarenakan adanya gen yang memicu terjadinya gangguan jiwa serta variasi dan multiple gen pada fungsi otak (Mohr, 2003). Beberapa peneliti juga  menemukan adanya variasi genetik pada responden sebanyak 3300 orang dengan diagnosis Skizofrenia, Autis,  ADHD, Bipolar Disorder, dan Mayor Deppressive Disorder (NIH,USA,2003). Keterlibatan genetik gangguan kejiwaan yang terjadi antara ayah, ibu, saudara atau anak yakni menyumbang sebesar 10%, sementara keterlibatan genetis pada keponakan atau cucu sebesar 2% hingga 4%, selebihnya kembar genetik adalah penyumbang paling besar bagi keterlibatan secara genetis gangguan kejiwaan yakni mencapai 46% sampai dengan 48%.

Coping method yang tidak dilakukan secara tepat, tentu akan memberikan pengaruh buruk bagi seseorang. Hal tersebut karena yang bersangkutan tidak membebaskan diri untuk melakukan berbagai pendekatan seluas-luasnya agar dapat mencari pemecahan atas masalah yang sedang ia hadapkan kepada jalan keluar yang sepadan dengan persediaan kapasitas yang dimiliki. Dua jenis strategi Coping yang biasa dilakukan adalah tipe Problem-Solving Focused Coping ; yakni individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres. Penggunaan tipe jenis ini menitikberatkan kepada bentuk evaluasi diri dengan mencari sumber atas solusi dan pemecahan suatu masalah. Tipe ini pun dinilai lebih baik dan cenderung disarankan oleh banyak psikolog, sebab menekankan kreativitas serta mendobrak daya juang seseorang agar tidak mudah mengeluh dan menyerah. Sementara tipe yang kedua adalah Emotion Focuses Coping ; yakni melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan timbul akibat suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan. Berbeda dengan tipe yang sebelumnya, dimana menitikberatkan kepada mencari sumber atau cara untuk memecahkan masalah sementara tipe jenis emotion focused coping lebih kepada menjawab pertanyaan atas masalah yang sedang dihadapi dengan berfokus pada pertanyaan ego ; seperti mengeluh atau menyalahkan, hingga berujung kepada perasaan pasrah atau mendendam kepada objek yang diduga menjadi pusat munculnya permasalahan.
Gambaran penggunaan kedua pendekatan coping method tersebut adalah sebagai berikut ;  
Seseorang dengan latar belakang pendidikan S1 bidang keilmuan tertentu sedang mencari pekerjaan, tetapi karena baru saja selesai menjalankan studi nya maka ia belum memiliki pengalaman di dunia kerja. Dengan kerasnya orang tersebut selalu berusaha mencari pekerjaan, namun sudah hampir 15 bulan ia belum juga mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Memiliki pekerjaan dan menjalani suatu profesi merupakan impiannya sejak dahulu, selain karena ia ingin berkarya atas usahanya yang telah mentamatkan suatu bidang studi, ia juga ingin membahagiakan dan membuat bangga kedua orangtua, kini memiliki pekerjaan merupakan fokus perhatiannya sehingga lambat laun kehidupan pribadi dan sosialnya mulai terganggu. Rasa cemas mulai menghantuinya, kepercayaan diri pun mulai menurun, kini ia sering merasa bersalah dan tidak berharga bagi orangtua, keluarga besar hingga dirinya sendiri.

Dari gambaran peristiwa di atas, jika yang bersangkutan menggunakan tipe coping method model pertama maka cara pemecahan masalahnya adalah berfokus kepada mencari solusi atas pemecahan masalah yang sedang dihadapi, mengaktifkan segala kreativitasnya dan mengevaluasi diri untuk menemukan solusi atas permasalahan tersebut. Seperti contoh ; mengumpulkan koneksi dari kerabat dan beragam relasi untuk mencari referensi beberapa perusahaan, membeli sejumlah buku panduan untuk menghadapi proses seleksi diperusahaan, meningkatkan kualitas hard skill dan soft skill yang dimiliki, jika perlu mencari peluang bisnis untuk mengembangkan hobi atau kegemaran. Namun jika ia berfokus kepada coping method yang kedua maka ia akan semakin gelisah dan mengeluhkan permasalahan yang sedang dihadapi tanpa berupaya untuk mencari jalan keluar atas permasalahan yang sedang ia hadapi. Seperti contoh ; kerapkali menyalahkan diri sendiri yang selalu gagal saat menjalani tes seleksi di perusahaan, cenderung menyalahkan dirinya yang tidak mampu bersaing dengan banyak pencari kerja yang lain, atau menyalahkan bahwa pihak perusahaannya yang selalu mengutamakan kandidat referensi dari pegawai yang bekerja pada perusahaan terlebih dahulu. Dari pemaparan tersebut sudah terlihat perbedaannya antara coping method dengan pendekatan problem-solving atau emotional.

Faktor pemahaman dan keyakinan agama kerap menjadi indikasi utama bagi kerentanan orang yang menderita gangguan jiwa. Sebuah studi Ethnografi yang dilakukan oleh Saptandari (2001) melaporkan bahwa lemahnya iman dan kurangnya ibadah dalam kehidupan sehari-hari berhubungan erat dengan kejadian gangguan jiwa. Selanjutnya penelitian oleh Suryani (2011) juga menemukan adanya hubungan antara kekuatan iman dengan kejadian gangguan jiwa, khususnya pada pasien yang mengalami halusinasi pendengaran dimana halusinasi tersebut tidak muncul jika kondisi keimanan yang bersangkutan kuat. Dengan demikian, benteng keimanan memegang peranan yang sangat penting karena merupakan landasan dan acuan dalam setiap langkah kehidupan. Sudah tentu jika seseorang  mengenal dengan baik siapa dirinya maka dengan sendirinya ia senantiasa berdamai terhadap segala ketentuan yang ia miliki juga ke-Berkahan yang ada padanya.

Segala peristiwa yang terjadi merupakan bagian dari goresan tinta yang telah tergambar dalam buku hidup, masing-masing kita memiliki corak tersendiri. Namun tidak ada yang melulu memiliki goresan usang, terkadang dalam catatan buku hidup tersebut, anda juga telah menggoreskan suatu yang begitu berarti, indah, dan mengagumkan. Hal tersebut dapat terjadi jika anda senantiasa mengumpulkan seluruh kekuatan (berupa potensi dan bakat yang anda miliki), mengumpulkan seluruh alam sadar dan bawah sadar anda mengenai impian dan pencapaian yang akan anda wujudkan, menghayati peran penting dalam menjalin hubungan vertikal dengan Sang Maha Pencipta dan hubungan horizontal dengan lingkungan sosial (seperti orangtua, saudara, kerabat, juga orang-orang dalam hidup anda). Jika anda telah mengenal diri anda, menghayati arti keberadaan anda, berdamai dengan diri anda, dan menjadi sahabat terdekat bagi diri anda, dapat dipastikan bahwa anda mudah untuk menikmati indahnya perjalanan hidup. Sebab tidak ada air mata yang menetes tanpa makna, tidak ada suara tawa yang terdengar tanpa iringian decak kagum, serta tidak ada pujian yang terdengar tanpa diawali usaha maupun kerja keras. Jadilah pribadi yang senantiasa produktif, jangan pernah hiraukan siapapun yang ada dihadapan anda, namun ingat dan kenanglah selalu mereka yang ada di belakang anda, karena mereka tidak akan pernah meninggalkan anda, mereka juga tidak akan segan membangunkan anda disaat anda terjatuh dan tertatih untuk melangkah.

Jangan pernah sekali-kali menganggap hidup ini begitu sulit, karena sesulit apapun permasalahan yang anda hadapi, masalah yang muncul dalam hidup anda hanyalah sebatas ruang berfikir anda, selebihnya tidak ada yang perlu anda cemaskan karena andalah yang memegang kunci dari permasalahan anda sendiri dan andalah yang menciptakan situasi tertentu menjadi pokok masalah. Segeralah bercermin untuk melihat siapakah diri anda sesungguhnya, rumusnya hanyalah berdayakan diri anda, jangan pernah menyalahkan siapapun sebab jika anda membiarkan perasaan tidak adil berada sedetik saja dalam diri anda maka rasa cemas, sedih dan tidak berdaya akan langsung bersarang kepada anda, selanjutnya anda akan mulai melupakan peranan anda sebagai tokoh utama dalam menciptakan tiap goresan dalam buku hidup yang anda miliki. “Rangkullah” siapapun yang anda temui di sepanjang perjalanan hidup anda, janganlah memandang seseorang hanya dari satu sisi saja namun tengok dan cermatilah dari banyak sisi, karena disanalah anda akan menemukan sesuatu yang berharga dan paling indah darinya yang tidak ia ketahui.

Dua alenia terakhir yang saya tuliskan adalah usaha saya dalam menggambarkan betapa sedihnya orang-orang yang terlanjur diberikan cap atau stigma sebagai residivis orang dengan gangguan jiwa. Mereka akan selalu terpasung dalam paradigma anda yang mengganggap mereka merupakan orang-orang rentan dan lemah dalam menghadapi hidup. Namun anda lupa bahwa siapapun berkesempatan mengalami gangguan jiwa, kesempatan tersebut sama besarnya dengan kesempatan anda tertular virus influenza dari teman anda yang lebih dahulu mengalaminya. Akan tetapi kesempatan tersebut menjadi semakin minim jika anda merubah makna dan konsep hidup anda menjadi suatu konsep hidup yang lebih luhur dengan senantiasa Ikhlas kepada apapun yang telah dan akan terjadi, sebab tidak ada pelangi tanpa hujan yang terlebih dahulu turun.


Jumat, 04 Oktober 2013

Simtom Skizofrenia



Mendadak segala sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Saya mulai kehilangan kendali atas hidup saya dan terutama diri saya. Saya tidak bisa berkonsentrasi pada tugas-tugas kuliah, tidak bisa tidur, dan ketika saya tidur, saya bermimpi tentang kematian. Saya takut masuk ruang kuliah, membayangkan bahwa orang-orang membicarakan saya, dan diatas semua itu saya mendengar suara-suara. Saya menelpon ibu dan meminta saran. Ia menyuruh saya pindah dari kampus dan tinggal bersama kaka saya.

Setelah tinggal bersama dengan kaka saya, keadaan menjadi semakin buruk. Saya takut pergi keluar rumah dan bila saya melihat keluar jendela, semua orang diluar seolah-olah berteriak, “bunuh dia, bunuh dia.” Kakak saya memaksa saya untuk pergi ke kampus. Saya pergi keluar rumah sampai saya tahu ia telah berangkat ke tempat kerjanya ; setelah itu saya kembali ke rumah namun keadaan terus memburuk. Saya membayangkan bau badan saya tidak enak dan kadang mandi hingga 6 kali sehari. Suatu hari saya pergi ke toko dan saya membayangkan orang-orang tersebut berkata “carilah tempat aman, selamatkan diri anda sekalian.” Keadaan semakin memburuk dan saya tidak bisa mengingat apapun. Saya memiliki buku catatan yang berisi segala sesuatu yang harus saya lakukan pada suatu hari tertentu. Kini saya tidak bisa mengingat tugas kuliah dan saya belajar dari jam 6 sore hingga jam 4 pagi, namun tidak berani berangkat ke kampus pada esok harinya.

Saya berusaha menceritakan kepada kakak saya mengenai apa yang telah saya alami, namun ia tidak mengerti. Ia malah menyarankan saya untuk menemui Psikiater, namun saya takut keluar rumah untuk menemui Psikiater. Hingga suatu hari saya memutuskan bahwa saya tidak sanggup menanggung trauma ini lebih lama, lalu saya meminum sebanyak 35 pil Diovan(1). Pada saat yang sama, sebuah suara di dalam diri saya berkata “untuk apa kamu melakukannya? Sekarang kamu tidak akan masuk surga.” Detik itu juga saya sadar bahwa saya tidak sungguh-sungguh ingin mati. Saya ingin hidup, tetapi saya takut. Kemudian saya mengambil telepon dan menelepon Psikiater yang direkomendasikan oleh kakak saya. Saya katakan kepadanya bahwa saya telah meminum pil Diovan dalam dosis yang berlebihan dan saya takut. 

Kemudian ia menyuruh saya untuk pergi ke rumah sakit, dan saya mulai muntah tetapi saya tidak pingsan. Karena satu dan lain hal, saya tidak bisa menerima kenyataannya bahwa saya benar-benar menemui seorang Psikiater. Saya menganggap Psikiater hanya untuk orang-orang gila dan saya jelas tidak menganggap diri saya gila. Akibatnya saya tidak langsung menemui Psikiater, sebaliknya saya meninggalkan rumah sakit dan akhirnya bertemu dengan kakak saya dalam perjalanan pulang ke rumah. Namun ia menyuruh saya kembali pada saat itu juga, karena saya jelas harus meminta bantuan Psikiater. Saya kemudian menelpon ibu, dan ia mengatakan akan datang esok hari (Kisah Nyata O’neil, 1984)



Perempuan muda yang di gambarkan dalam cerita tersebut didiagnosis menderita Skizofrenia. Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama dalam pikiran, emosi dan prilaku. Akibat pikiran yang terganggu, dimana berbagai pemikiran tidak saling berhubungan secara logis akibat persepsi dan perhatian yang keliru, afek yang datar atau tidak sesuai dan berbagai aktivitas motorik yang aneh (dimana terjadi suatu kesalahan dalam gerakan tubuh seseorang yang berhubungan dengan otot, syaraf dan otaknya). Pasien skizofrenia menarik diri dari orang lain dan kenyataan, sering kali masuk ke dalam kehidupan fantasi yang penuh delusi dan halusinasi. Skizofrenia merupakan satu dari berbagai psikopatologi yang memiliki prevalensi kurang dari 1 persen diderita oleh laki-laki dan perempuan yang kurang lebih sama banyaknya. Merupakan luapan dari masa kanak-kanak, gangguan ini biasanya muncul pada akhir masa remaja dan awal masa dewasa.  Orang –orang yang menderita skizofrenia umumnya mengalami beberapa episode akut dari simtom atau gejala. Diantara setiap episode, mereka sering mengalami simtom yang tidak terlalu parah namun tetap menggangu keberfungsian mereka.


Simtom Klinis Skizofrenia

Simtom yang dialami pasien skizofrenia mencangkup gangguan dalam beberapa hal penting, yaitu pikiran, persepsi dan perhatian mencangkup prilaku motorik, afeksi atau emosi serta keberfungsian hidup. Simtom utama dalam skizofrenia dibagi dalam 3 kategori yakni; positif, negatif dan disorganisasi.

1.1   Simtom Positif
Simtom positif mencangkup hal-hal yang berlebihan dan distorsi, seperti halusinasi dan waham. Ciri demikian menjadi ciri episode akut skizofrenia.
Delusi atau dikenal dengan istilah waham. Gejala ini terjadi seperti saat kita merasa khawatir karena kita yakin bahwa orang lain berfikir buruk tentang diri kita. Kita beranggapan bahwa orang-orang disekitar kita akan menyerang kita dengan berbagai konspirasi mencelakai kita, memata-matai dan bahkan mengejar kita. Bahkan bila penderita tersebut bertemu dengan orang baru, maka ia akan menanyai dengan panjang lebar untuk mengetahui apakah orang tersebut menjadi bagian dari konspirasi melawan. Waham atau delusi merupakan keyakinan yang berlawanan dengan kenyataan.
Halusinasi dan gangguan persepsi lain. Pasien skizofrenia sering kali menuturkan bahwa dunia tampak berbeda bahkan tidak nyata bagi mereka. Namun distorsi persepsi yang paling dramatis adalah Halusinasi ; yaitu sebuah pengalaman indrawi tanpa adanya stimulasi dari lingkungan, namun yang paling sering terjadi adalah halusinasi auditori.

1.2   Simtom Negatif
Simtom negatif mencangkup berbagai defisit behavioral seperti avolition, alogia, anhedonia, afek datar, dan asosialitas. Banyaknya simtom negatif merupakan prediktor kuat terhadap kualitas hidup yang rendah (seperti; ketidakmampuan bekerja, hanya memiliki teman). Perlu diperhatikan bahwa pada saat mengukur simtom negatif, penting untuk memilah mana yang merupakan simtom skizofrenia sesungguhnya ataukah disebabkan beberapa faktor lain seperti efek samping akibat pengaruh obat antipsikotik.

Avolition atau apati adalah, kondisi kurangnya energy dan ketidakadaan minat atau ketidakmampuan untuk tekun melakukan apa yang biasanya merupakan aktivitas rutin. Pasien dapat menjadi tidak tertarik untuk berdandan dan menjaga kebersihan diri, dengan rambut yang tidak tersisir, kuku kotor, gigi yang tidak disikat, dan pakaian yang berantakan. Mereka umumnya menghabiskan sebagian besar waktu untuk duduk-duduk tanpa melakukan apapun.
Alogia merupakan, gangguan atas pikiran negatif yang terwujud dalam beberapa bentuk. Dalam miskin percakapan, jumlah total percakapan sangat jauh berkurang. Dalam miskin isi percakapan, jumlah percakapan memadai namun hanya mengandung sedikit informasi dan cenderung membingungkan serta diulang-ulang.

Anhedonia merupakan, ketidakmampuan untuk merasakan kesenangan. Tercermin dalam kurangnya minat dalam berbagai aktivitas rekreasional, gagal untuk mengembangkan hubungan dekat dengan orang lain dan kurangnya minat dalam melakukan hubungan seks. Dalam hal ini pasien tsb sadar akan simtom yang dideritanya dan menuturkan bahwa apa yang biasanya dianggap sebagai aktivitas yang menyenangkan tidaklah dirasakan demikian lagi bagi mereka.
Afek Datar merupakan, gejala pandangan kosong, otot wajah yang kendur dan mata yang tidak hidup. Ketika diajak bicara, mereka menjawab dengan suara datar, dan tanpa nada.
Asosialitas, merupakan ketidakmampuan dalam menjalin hubungan sosial. Mereka hanya memiliki sedikit teman, keterampilan sosial yang rendah dan kurang berminat untuk berkumpul bersama orang lain.

1.3   Simtom Disorganisasi
Simtom ini mencangkup disorganisasi pembicaraan dan prilaku aneh.
a)      Disorganisasi pembicaraan ; dikenal sebagai gangguan berfikir formal yang merujuk pada masalah mengorganisasikan pemikiran dalam berbicara. Sehingga pendengar dapat mengetahui ada suatu hal yang aneh. Dalam disorganisasi pembicaraan, kadang pasien mengalami apa yang disebut asosiasi longgar atau keluar jalur (derailment) yakni pasien berhasil dalam komunikasi namun kesulitan untuk tetap berada pada suatu topik.

b)      Perilaku aneh terwujud dalam banyak bentuk. Pasien dapat meledak kemarahannya dalam konfrontasi singkat yang tidak dimengerti; seperti memakai pakaian yang tidak biasa, bertingkah laku seperti anak-anak, atau dengan gaya yang konyol menyimpan makanan, mengumpulkan sampah, atau melakukan perilaku seksual yang tidak pantas seperti melakukan masturbasi di depan umu. Mereka tampak kehilangan kemampuan untuk mengatur perilaku dan menyesuaikan dengan standar masyarakat.


 


(1) Diovan (valsartan) digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi atau dapat juga digunakan untuk mengobati gagal jantung pada pasien yang tidak mentoleransi angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor. Diovan adalah angiotensin II receptor blocker yang bekerja dengan cara memblokir hormon yang mengencangkan pembuluh darah. Hal ini menyebabkan pembuluh darah untuk bersantai (dilatasi), yang menurunkan tekanan darah dan mengurangi beban kerja pada jantung.

Senin, 23 September 2013

Parenting Interaction



Keluarga masa kini berbeda dengan keluarga zaman dulu. Dalam ikatan keluarga, orang-orang mengalami pergolakan dan perubahan hebat, khususnya mereka yang hidup di kota. Hasil peninjauan terhadap keluarga-keluarga di daerah adalah mereka belum mengalami maupun menikmati hasil kemajuan teknologi, kemajuan dalam dunia industri dan sebagainya. Karena itu, gambaran mengenai ikatan dan fungsi keluarga jauh berbeda jika dibandingkan dengan keluarga yang berada di tengah segala kemewahan materi. Sebenarnya keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas selaku penerus keturunan. Dalam bidang pendidikan, keluarga merupakan sumber pendidikan utama, karena segala pengetahuan dan kecerdasan intelektual manusia diperoleh pertama kali dari orangtua dan anggota keluarganya sendiri. Keluarga merupakan produsen sekaligus konsumen, yang berarti harus mempersiapkan dan menyediakan segala kebutuhan sehari-hari – seperti; sandang, pangan, dan papan. Setiap anggota keluarga saling membutuhkan satu sama lain, agar mereka dapat hidup lebih senang dan tenang. Hasil kerja mereka harus dinikmati bersama.

Sebaliknya keluarga masa kini sudah banyak kehilangan fungsi dan artinya. Fungsi pendidikan sudah diserahkan pada lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, sehingga tugas orangtua dalam memperkembangkan segi intelek anak menjadi jauh lebih ringan. Peralatan yang serba modern dan mekanis, mengganti tenaga manusia dengan tenaga mesin dan listrik, mengakibatkan tenaga manusia tidak lagi dibutuhkan. Misalnya, untuk memperoleh pakaian baru, tidak perlu menunggu ibu menenunnya, melainkan cukup membeli pakaian jadi. Sehingga acap kali timbul ekses dari kalangan mereka berpandangan individualistis yang mulai menyebar luas dan menyusup ke berbagai lapisan masyarakat, dengan pola hidup yang menitikberatkan kesenangan bagi individu itu sendiri dan yang menganggap bahwa tidak perlu lagi membentuk keluarga supaya tidak terhalang dan dibebani tanggung jawab kepada keluarga. Pandangan ini sebenarnya keliru, karena hanya menonjolkan kepuasan kebutuhan badani. Hidup bersama tanpa tanggung jawab atas kesejahteraan orang lain, berarti mengambil kesenangan dan keuntungan tanpa menghiraukan individu lainnya.


Akhirnya kesatuan keluarga hanya dianggap sekedar performa. Hubungan antarpribadi semakin jauh dan melemah, sehingga akhirnya arti pribadi mengalami suatu perubahan. Beberapa kebutuhan dasar individu sebagai suatu pribadi, dengan cara pandangan hidup individualistis tidak lagi dipenuhi,bahkan tidak lagi diperhitungkan sama sekali. Karena itu bisa timbul frustrasi, yaitu keadaan tidak tercapainya suatu keingian atau kebutuhan dasar yang mendorong tingkah laku seseorang. Frustrasi ini dapat mempengaruhi kelakuan seseorang sedemikian mendalamnya, sehingga timbul peristiwa yang tidak terduga, sekalipun lingkungan hidupnya sudah mencapai taraf kehidupan yang cukup tinggi. Peraturan-peraturan yang sudah sedemikian berakar dan mengatur seluruh seluk beluk kehidupan akhirnya dilanggar begitu saja. 


Beberapa kelompok ahli berusaha mengatasi masalah-masalah tersebut dengan cara mencari sumber permasalahan sehingga memungkinkan mengobati penyebabnya terlebih dahulu dengan akar-akarnya, sambil berharap masalah akan teratasi. Mereka meneliti setiap individu yang terlibat dalam tindakan kriminal, kenakalan anak, dan kenakalan yang belum melanggar hukum. Ternyata banyak diantaranya mengalami masalah keluarga. Persoalan sering bersumber pada rumah yang tidak dialami oleh keluarga dalam arti sesungguhnya, melainkan oleh individu –individu yang secara kebetulan tinggal bersama, tanpa mengalami perasaan aman yang wajar diperoleh melalui ikatan kekeluargaan. Ada pula yang tinggal dalam satu gedung mewah, tetapi bagi mereka gedung itu bukanlah sebuah “rumah”  mereka tinggal bersama karena “kebetulan” berasal dari hubungan seorang laki-laki dengan seorang perempuan, tanpa ikatan emosional sebagai anak-ayah-ibu. Keadaan tanpa hubungan emosional ini menimbulkan perasaan ketidakpuasan, yang akhirnya meletus dalam ledakan-ledakan emosional yang menggemparkan lingkungannya. Dasar kepribadian seseorang terbentuk sebagai hasil perpaduan antara warisan sifat, bakat orangtua dan lingkungan di mana ia berada dan berkembang. Lingkungan pertama yang mula-mula memberikan pengaruh mendalam adalah lingkungan keluarganya sendiri. Dari anggota keluarganya itu, yaitu ayah, ibu dan saudara-saudaranya, si anak memperoleh segala kemampuan dasar, baik intelektual maupun sosial. Bahkan penyaluran emosi banyak ditiru dan dipelajarinya dari anggota-anggota lain di keluarganya. Jadi, dapat dikatakan bahwa anak yang tidak pernah merasakan kasih sayang, juga tidak dapat menyatakan kasih sayang terhadap orang lain. Sikap, pandangan dan pendapat orangtua dan anggota keluarga lainnya dijadikan model oleh si anak dan kemudian menjadi sebagian dari tingkah laku anak itu sendiri.


Bila kita tinjau lebih mendalam lagi, hati nurani seseorang tidak mungkin terbentuk tanpa usaha dari dirinya sendiri maupun dari luar. Hati nurani seseorang tidak dapat berfungsi dengan baik sebagai sensor atas perbuatannya, bila dia tidak mempunyai kemampuan intelektual untuk mengambil isi dan arti dari segala hal yang dilihatnya dilingkungan keluarga serta dialaminya melalui ajaran agama, etika, dan pelajaran-pelajaran lainnya. Jadi walaupun contoh dan teladan di sekitarnya patut ditiru dan dijadikan petunjuk bagi hidupnya, ia tidak akan dapat mengikutinya, karena kemampuan dan pengertiannya terlalu rendah. Sebaliknya, sekalipun seseorang cukup cerdas dan mampu mengambil inti sari dari segala rupa ajaran, ia belum tentu memiliki hati nurani yang dapat berfungsi sebagai pengarah bagi perbuatan-perbuatannya apabila dalam lingkungan hidupnya tidak terdapat contoh atau tokoh yang dapat dijadikan teladan olehnya. Bahkan lingkungan yang menyajikan tokoh-tokoh dan ajaran-ajaran yang menyesatkan dan secara etis-moral tidak dapat dipertanggungjawabkan akhirnya akan membentuk  hati nurani yang isinya tidak mengarah ke tujuan yang mulia, luhur dan pantas, melainkan hanya mementingkan kesenangan diri sendiri tanpa menghiraukan tuntutan dari lingkungannya. Dalam keadaan demikian, tidaklah mustahil akan timbul kerusuhan kecil yang mungkin tidak berarti maupun kekacauan umum yang luas dan terasa pengaruhnya dalam hidup masyarakat.


Dengan demikian, betapa pun tingginya taraf kemajuan teknologi yang dicapainya dan kenikmatan hidup yang diperolehnya, taraf tersebut tidak dapat dipertahankan bila pribadi yang menjalaninya tidak memiliki kepribadian yang terbentuk sempurna. Artinya tidak mempunyai kepribadian yang bertanggung jawab secara etis dan moral. Demi terciptanya suatu masyarakat yang aman dan sentosa, haruslah diambil tindakan dalam rangka bimbingan terhadap pribadi-pribadi yang membentuk masyarakat maupun bangsa tersebut. Terlebih dahulu harus diusahakan supaya pribadi-pribadi dibimbing dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga dalam perkembangannya akan menjadi manusia yang bertanggung jawab penuh secara etis-moral terhadap Tuhan, nusa dan bangsa. Mewujudkan manusia yang berkarakter dengan tanggung jawab penuh ini hanya mungkin dilakukan melalui suatu masa perkembangan dan pergolakan yang cukup sulit dan berliku-liku. 


Lingkungan yang optimal bagi perkembangan kepribadian yang wajar adalah penting sekali. Lingkungan pertama yang harus diusahakan sebaik-baiknya sebagai lingkungan yang menguntungkan adalah lingkungan yang mula-mula dimasuki individu kecil, yakni keluarganya. Keluarga dan suasana hidup keluarga sangat berpengaruh atas taraf-taraf permulaan perkembangan anak dan banyak menentukan apa yang kelak akan terbentuk-sikap keras hati atau sikap lemah lembut adalah tabah-serta dasar-dasar kepribadian lainnya. Keutuhan keluarga dan keserasian yang menguasai suasana di rumah merupakan salah satu faktor penting. Demikian pula sosok ayah dan ibu sebagai pengisi hati nurani yang pertama harus melakukan tugas ini dengan penuh tanggung jawab dalam suasana kasih sayang antara pengasuh (orangtua) dengan yang diasuh (anak).