SKIZOFRENIA
Simtom-simtom skizofrenia mencangkup delusi, hendaya
kognitif, halusinasi, dan simtom negative seperti efek datar. Prevalensi
skizofrenia pada orang lanjut usia secara keseluruhan lebih rendah disbanding prevalensi
dalam populasi total. Perbedaan tersebut dapat diatribusikan pada dua faktor. Pertama,
beberapa orang yang menderita skizofrenia meninggal sebelum mencapai usia tua;
kelompok individu yang menderita gangguan ini memiliki angka kematian yang
lebih tinggi dibanding orang-orang dalam populasi umum (Karon&VandenBos,
1998). Kedua, banyak orang yang menderita skizofrenia menunjukkan sangat
berkurangnya, dan kadang hilangnya secara total, simtom-simtom skizofrenia
ketika mencapai usia tua (Zarit&Zarit, 1998). Meskipun demikian, orang
lanjut usia yang menderita skizofrenia cenderung hidup dalam kemiskinan,
memiliki tingkat pendidikan rendah, dan tingkat pengangguran tinggi (Meeks
& Murrell, 1997).
Apakah skizofrenia pernah timbuk untuk pertama kali pada
usia tua? Perdebatan mengenai pertanyaan ini telah berlangsung selama
bertahun-tahun. Bahkan Kraepelin meragukan apakah selamanya sesuai untuk
menggunkan kata sifat prekoks, yang berarti timbul di usia muda (untuk
menggambarkan skizofrenia). Diperkirakan 90 persen kasus skizofrenia timbul
sebelum seseorang mencapai usia 60. Dengan demikian skizofrenia yang timbul di
usia lanjut memang langka meskipun ada (Karon&VandenBos, 1998).
Bila skizofrenia terjadi untuk pertama kali pada usia
lanjut, seringkali disebut parafrenia (Howard, 1993; Roth, 1955). Simtom-simtomnya
berbeda dengan skizofrenia yang timbul pada usia muda; parafrenia umumnya
mencangkup halusinasi dan delusi paranoid yang lebih banyak (Howard, Almeida,
& Levy, 1993; Jeste dkk., 1988). Para pasien cenderung orang yang tidak
menikah, hidup dengan kesendirian, hanya memiliki sedikit kerabat yang masih
hidup, mengalami kerusakan pendengaran, memiliki riwayat skizofrenia dalam
keluarga, dan berasal dari kelas sosioekonomi rendah (Harris & Jeste, 1988;
Post, 1987).
Di Amerika Serikat istilah parafrenia digunakan secara tidak
konsisten (Berger & Zarit, 1987; Bridge &Wyatt, 1980; Howard, 1993). Beberapa
peneliti meyakini bahwa sejumlah pasien berusia lanjut yang di diagnosis
mengalami parafrenia sebenarnya mengalami gangguan mood (Cooper, Garside, &
Kay dkk., 1976), karena pada banyak orang yang mengalami simtom-simtom utama,
fungsi kognitif dan fungsi secara keseluruhan tidak terganggu; yaitu, hidup
mereka tidak mengalami kemunduran dan gangguan yang umum dialami para pengidap
skizofrenia. Dalam sebuah studi terhadap para pasien yang tampaknya mengalami
skizofrenia untuk pertama kalinya di atas usia 65 tahun, sekitar dua pertiganya
sebenarnya mengalami demensia atau gangguan kondisi perasaan (Leuchter, 1985).
Pada orang usia lanjut, faktor-faktor biologis yang hanya
memiliki sedikit atau sama sekali tidak berhubungan dengan gangguan mental itu
sendiri harus dipertimbangkan dengan serius pada saat menegakkan diagnosis
penyakit mental seperti parafrenia. Contohnya, beberapa masalah kesehatan dan
pembedahan yang dapat disembuhkan dapat menimbulkan gejala-gejala dan
simtom-simtom yang mirip dengan skizofrenia (Marengo & Westermeyer, 1996),
termasuk hipertiroidisme, hipotiroidisme, penyakit Addison, penyakit Cushing,
penyakit Parkinson, penyakit Alzheimer, dan kekurangan vitamin (Jeste, Manley,
& Harris, 1991).
Obat-obatan antipsikotik, seperti fenotiazin efektif untuk
menangani skizofrenia pada orang lanjut usia, meskipun efek sampingnya dan
interaksi dengan obat-obatan lain yang dikonsumsi pasien membuat dokter yang
meresepkannya harus berhati-hati. Hubungan terapeutik yang suportif juga
nampaknya membantu dan menjadi pendorong (Marengo & Westermeyer, 1996). Intervensi
terapi perilaku kognitif (CBT) tampaknya mengurangi keseluruhan simtom dan
mengurangi keparahan delusi (Dickerson, 2000). Meskipun demikian, mengenai
skizofrenia pada umumnya kombinasi obat-obatan antipsikotik dan CBT tampaknya
paling berhasil untuk menangani orang-orang lanjut usia yang mengalami
skizofrenia.
Gangguan Delusional
(Paranoid)
Selain penderitaan yang dirasakan pasien, paranoia dapat
menimbulkan dampak langsung dan mengganggu bagi orang lain. Sering kali menimbulkan
reaksi kemarahan dan berkontribusi terhadap keputusan untuk merumahsakitkan
orang lanjut usia yang mengalami gangguan tersebut (Berger & Zarit, 1978). Simtomatologi
paranoia terjadi pada banyak pasien psikiatrik berusia lanjut (Heston, 1987;
Pfeiffer, 1977).
Penyebab gangguan delusional. Paranoia pada pasien lanjut
usia dapat merupakan kelanjutan dari gangguan yang terjadi pada masa usia
terdahulu atau dapat menyertai penyakit otak seperti delirium dan demensia. Paranoia
bahkan dapat memiliki fungsi tertentu bagi pasien demensia, yaitu mengisi
kekosongan memori yang disebabkan hilangnya memori. Alih-alih mengakui “saya
tidak ingat dimana saya meletakan kuncinya” mereka berfikir, “seseorang pasti
telah masuk ke dalam dan mengambil kunci tersebut” (Zarit, 1980).
Pemikiran paranoid telah dihubungkan dengan kerusakan
sensori, khususnya kerusakan pendengaran. Beberapa orang meyakini bahwa
orang-orang lanjut usia yang mengalami gangguan paranoid parah cenderung
mengalami kerusakan pendengaran pada kedua telinga yang telah berlangsung lama
(Eastwood dkk., 1985; Pearlson & Rabins, 1988; Post, 1980). Orang lanjut
usia yang telah mengalami ketulian dapat meyakini bahwa orang lain
membicarakannya dengan berbisik agar ia tidak mendengar apa yang dikatakan
mereka. Reaksi paranoid orang yang bersangkutan dapat merupakan upaya untuk
mengisi kekosongan yang disebabkan oleh kerusakan indra. Dengan menceritakan
berbagai kejadian yang membingungkan, delusi dalam satu sisi bersifat adaptif
dan dapat dimengerti. Meskipun demikian terdapat bukti yang bertentangan dengan
asumsi adanya keterkaitan antara masalah pendengaran dan gangguan delusional. Bila
beberapa peneliti melaporkan bahwa kerusakan pendengaran mendahului terjadinya
simtom-simtom paranoid, peneliti-peneliti lain melaporkan bahwa kerusakan
indrawi semacam itu bukanlah hal yang umum terjadi pada orang yang mengalami
gangguan delusional (Jeste dkk., 1988).
Karena orang-orang yang menjadi paranoid juga memiliki
penyesuaian sosial yang buruk, simtom-simtom tersebut dapat terjadi setelah
suatu periode dimana mereka semakin terisolasi secara sosial (Gurland, 1991). Isolasi
sosial itu sediri membatasi kesempatan orang yang bersangkutan untuk menguji
kecurigaannya terhadap dunia, sehingga memudahkan terbentuknya delusi tersebut.
Individu yang bersangkutan membangun komunitas semu, sebuah dunia pribadi bagi
dirinya, dan bukan hubungan sosial yang berbasis komunikasi yang baik dan
saling percaya (Cameron, 1959).
Orang-orang yang lanjut usia sangat beresiko menerima
berbagai perlakuan yang tidak sepantasnya. Orang lain mungkin membicarakan
mereka tanpa sepengetahuan mereka atau bahkan di depan mereka, seolah mereka
tidak ada di sana, dan orang-orang memanfaatkan orang usia lanjut dengan
berbagai cara. Keluhan orang lanjut usia, bahwa dirinya dikejar-kejar dan
diabaikan begitu saja dan dianggap sebagai gejala paranoia diusia tua mungkin
benar adanya. Seorang klien berusia lanjut dari salah satu penulis mengeluh
bahwa ia telah diikuti oleh seorang detektif yang disewa suaminya yang kejam. Penelusuran
mengungkapkan bahwa suaminya khawatir ia menjalin hubungan dengan laki-laki lain
dan memang menyewa orang untuk mengikutinya. Haruslah selalu diteliti apakah
kecurigaan didasari oleh kenyataan sebelum diatribusikan pada paranoia.
Penanganan Gangguan
Delusional
Penanganan paranoia untuk orang lanjut usia sama persis
dengan penanganan untuk orang yang lebih muda. Meskipun tidak banyak data
terkendali, para ahli klinis berpendapat bahwa pendekatan terbaik adalah
pendekatan suportif dimana terapis memberikan pengertian empatik kepada pasien
atas kekhawatirannya. Secara langsung menentang delusi paranoid atau mencoba
mengajak orang yang bersangkutan untuk menalar keyakinannya, jarang memberikan
hasil efektif. Pada saat pasien menemui professional kesehatan, banyak
oranglain, keluarga, teman-teman dan polisi yang mungkin telah mencoba
pendekatan tersebut.
Daftar Pustaka :
Davison,
C. Gerald. ; Neale, M. John. ; Kring M. Ann. (2006); PSIKOLOGI ABNORMAL (edisi
ke-9); Grafindo Persada, Jakarta.