Selasa, 27 Agustus 2013

Pemahaman - Skizofrenia



SKIZOFRENIA

Simtom-simtom skizofrenia mencangkup delusi, hendaya kognitif, halusinasi, dan simtom negative seperti efek datar. Prevalensi skizofrenia pada orang lanjut usia secara keseluruhan lebih rendah disbanding prevalensi dalam populasi total. Perbedaan tersebut dapat diatribusikan pada dua faktor. Pertama, beberapa orang yang menderita skizofrenia meninggal sebelum mencapai usia tua; kelompok individu yang menderita gangguan ini memiliki angka kematian yang lebih tinggi dibanding orang-orang dalam populasi umum (Karon&VandenBos, 1998). Kedua, banyak orang yang menderita skizofrenia menunjukkan sangat berkurangnya, dan kadang hilangnya secara total, simtom-simtom skizofrenia ketika mencapai usia tua (Zarit&Zarit, 1998). Meskipun demikian, orang lanjut usia yang menderita skizofrenia cenderung hidup dalam kemiskinan, memiliki tingkat pendidikan rendah, dan tingkat pengangguran tinggi (Meeks & Murrell, 1997).

Apakah skizofrenia pernah timbuk untuk pertama kali pada usia tua? Perdebatan mengenai pertanyaan ini telah berlangsung selama bertahun-tahun. Bahkan Kraepelin meragukan apakah selamanya sesuai untuk menggunkan kata sifat prekoks, yang berarti timbul di usia muda (untuk menggambarkan skizofrenia). Diperkirakan 90 persen kasus skizofrenia timbul sebelum seseorang mencapai usia 60. Dengan demikian skizofrenia yang timbul di usia lanjut memang langka meskipun ada (Karon&VandenBos, 1998).
Bila skizofrenia terjadi untuk pertama kali pada usia lanjut, seringkali disebut parafrenia (Howard, 1993; Roth, 1955). Simtom-simtomnya berbeda dengan skizofrenia yang timbul pada usia muda; parafrenia umumnya mencangkup halusinasi dan delusi paranoid yang lebih banyak (Howard, Almeida, & Levy, 1993; Jeste dkk., 1988). Para pasien cenderung orang yang tidak menikah, hidup dengan kesendirian, hanya memiliki sedikit kerabat yang masih hidup, mengalami kerusakan pendengaran, memiliki riwayat skizofrenia dalam keluarga, dan berasal dari kelas sosioekonomi rendah (Harris & Jeste, 1988; Post, 1987).
Di Amerika Serikat istilah parafrenia digunakan secara tidak konsisten (Berger & Zarit, 1987; Bridge &Wyatt, 1980; Howard, 1993). Beberapa peneliti meyakini bahwa sejumlah pasien berusia lanjut yang di diagnosis mengalami parafrenia sebenarnya mengalami gangguan mood (Cooper, Garside, & Kay dkk., 1976), karena pada banyak orang yang mengalami simtom-simtom utama, fungsi kognitif dan fungsi secara keseluruhan tidak terganggu; yaitu, hidup mereka tidak mengalami kemunduran dan gangguan yang umum dialami para pengidap skizofrenia. Dalam sebuah studi terhadap para pasien yang tampaknya mengalami skizofrenia untuk pertama kalinya di atas usia 65 tahun, sekitar dua pertiganya sebenarnya mengalami demensia atau gangguan kondisi perasaan (Leuchter, 1985).

Pada orang usia lanjut, faktor-faktor biologis yang hanya memiliki sedikit atau sama sekali tidak berhubungan dengan gangguan mental itu sendiri harus dipertimbangkan dengan serius pada saat menegakkan diagnosis penyakit mental seperti parafrenia. Contohnya, beberapa masalah kesehatan dan pembedahan yang dapat disembuhkan dapat menimbulkan gejala-gejala dan simtom-simtom yang mirip dengan skizofrenia (Marengo & Westermeyer, 1996), termasuk hipertiroidisme, hipotiroidisme, penyakit Addison, penyakit Cushing, penyakit Parkinson, penyakit Alzheimer, dan kekurangan vitamin (Jeste, Manley, & Harris, 1991).
Obat-obatan antipsikotik, seperti fenotiazin efektif untuk menangani skizofrenia pada orang lanjut usia, meskipun efek sampingnya dan interaksi dengan obat-obatan lain yang dikonsumsi pasien membuat dokter yang meresepkannya harus berhati-hati. Hubungan terapeutik yang suportif juga nampaknya membantu dan menjadi pendorong (Marengo & Westermeyer, 1996). Intervensi terapi perilaku kognitif (CBT) tampaknya mengurangi keseluruhan simtom dan mengurangi keparahan delusi (Dickerson, 2000). Meskipun demikian, mengenai skizofrenia pada umumnya kombinasi obat-obatan antipsikotik dan CBT tampaknya paling berhasil untuk menangani orang-orang lanjut usia yang mengalami skizofrenia.


Gangguan Delusional (Paranoid)
Selain penderitaan yang dirasakan pasien, paranoia dapat menimbulkan dampak langsung dan mengganggu bagi orang lain. Sering kali menimbulkan reaksi kemarahan dan berkontribusi terhadap keputusan untuk merumahsakitkan orang lanjut usia yang mengalami gangguan tersebut (Berger & Zarit, 1978). Simtomatologi paranoia terjadi pada banyak pasien psikiatrik berusia lanjut (Heston, 1987; Pfeiffer, 1977).
Penyebab gangguan delusional. Paranoia pada pasien lanjut usia dapat merupakan kelanjutan dari gangguan yang terjadi pada masa usia terdahulu atau dapat menyertai penyakit otak seperti delirium dan demensia. Paranoia bahkan dapat memiliki fungsi tertentu bagi pasien demensia, yaitu mengisi kekosongan memori yang disebabkan hilangnya memori. Alih-alih mengakui “saya tidak ingat dimana saya meletakan kuncinya” mereka berfikir, “seseorang pasti telah masuk ke dalam dan mengambil kunci tersebut” (Zarit, 1980).

Pemikiran paranoid telah dihubungkan dengan kerusakan sensori, khususnya kerusakan pendengaran. Beberapa orang meyakini bahwa orang-orang lanjut usia yang mengalami gangguan paranoid parah cenderung mengalami kerusakan pendengaran pada kedua telinga yang telah berlangsung lama (Eastwood dkk., 1985; Pearlson & Rabins, 1988; Post, 1980). Orang lanjut usia yang telah mengalami ketulian dapat meyakini bahwa orang lain membicarakannya dengan berbisik agar ia tidak mendengar apa yang dikatakan mereka. Reaksi paranoid orang yang bersangkutan dapat merupakan upaya untuk mengisi kekosongan yang disebabkan oleh kerusakan indra. Dengan menceritakan berbagai kejadian yang membingungkan, delusi dalam satu sisi bersifat adaptif dan dapat dimengerti. Meskipun demikian terdapat bukti yang bertentangan dengan asumsi adanya keterkaitan antara masalah pendengaran dan gangguan delusional. Bila beberapa peneliti melaporkan bahwa kerusakan pendengaran mendahului terjadinya simtom-simtom paranoid, peneliti-peneliti lain melaporkan bahwa kerusakan indrawi semacam itu bukanlah hal yang umum terjadi pada orang yang mengalami gangguan delusional (Jeste dkk., 1988).

Karena orang-orang yang menjadi paranoid juga memiliki penyesuaian sosial yang buruk, simtom-simtom tersebut dapat terjadi setelah suatu periode dimana mereka semakin terisolasi secara sosial (Gurland, 1991). Isolasi sosial itu sediri membatasi kesempatan orang yang bersangkutan untuk menguji kecurigaannya terhadap dunia, sehingga memudahkan terbentuknya delusi tersebut. Individu yang bersangkutan membangun komunitas semu, sebuah dunia pribadi bagi dirinya, dan bukan hubungan sosial yang berbasis komunikasi yang baik dan saling percaya (Cameron, 1959).

Orang-orang yang lanjut usia sangat beresiko menerima berbagai perlakuan yang tidak sepantasnya. Orang lain mungkin membicarakan mereka tanpa sepengetahuan mereka atau bahkan di depan mereka, seolah mereka tidak ada di sana, dan orang-orang memanfaatkan orang usia lanjut dengan berbagai cara. Keluhan orang lanjut usia, bahwa dirinya dikejar-kejar dan diabaikan begitu saja dan dianggap sebagai gejala paranoia diusia tua mungkin benar adanya. Seorang klien berusia lanjut dari salah satu penulis mengeluh bahwa ia telah diikuti oleh seorang detektif yang disewa suaminya yang kejam. Penelusuran mengungkapkan bahwa suaminya khawatir ia menjalin hubungan dengan laki-laki lain dan memang menyewa orang untuk mengikutinya. Haruslah selalu diteliti apakah kecurigaan didasari oleh kenyataan sebelum diatribusikan pada paranoia.

Penanganan Gangguan Delusional
Penanganan paranoia untuk orang lanjut usia sama persis dengan penanganan untuk orang yang lebih muda. Meskipun tidak banyak data terkendali, para ahli klinis berpendapat bahwa pendekatan terbaik adalah pendekatan suportif dimana terapis memberikan pengertian empatik kepada pasien atas kekhawatirannya. Secara langsung menentang delusi paranoid atau mencoba mengajak orang yang bersangkutan untuk menalar keyakinannya, jarang memberikan hasil efektif. Pada saat pasien menemui professional kesehatan, banyak oranglain, keluarga, teman-teman dan polisi yang mungkin telah mencoba pendekatan tersebut.



Daftar Pustaka :
Davison, C. Gerald. ; Neale, M. John. ; Kring M. Ann. (2006); PSIKOLOGI ABNORMAL (edisi ke-9); Grafindo Persada, Jakarta.

Selasa, 06 Agustus 2013

tentang Mimpi pendekatan Sigmun Freud



Percayalah pada sesuatu yang senantiasa terlintas dalam angan dan impian yang kadang terbesit dalam bayangan kita, sebab mimpi entah itu tentang hal yang ajaib, menakjubkan ataupun sederhana jika dihayati dengan baik, sejogyanya akan memberi kekuatan penuh dalam diri atas suatu pencapaian, prestasi dan hasil yang luar biasa. Banyak ahli filosofi menggambarkan mimpi sebagai satu langkah awal menuju peristiwa hebat dikemudian hari dalam fase hidup kita, hal tersebut bukanlah tanpa alasan sebab mimpi merupakan manifestasi dari apa yang kita harapkan dan inginkan melalui renungan dan tahap refleksi kedalam. 

Mengenai mengapa manusia bermimpi dan mengapa mimpi sering kali menjadi suatu hal unik yang kerap ditafsirkan, merupakan topik yang masih diteliti oleh ilmuwan (dalam hal ini psikologi), pendekatan psikologi yang paling rasional mengenai mimpi berasal dari konsep Psikoanalisa oleh Sigmun Freud, ia menyebutkan proses mimpi yang dialami oleh seseorang berasal dari gejolak alam bawah sadar yang mendominasi tiap pikiran liar, perwujudan dari sebuah harapan dan spekulasi akan keinginan yang terpendam. Terkait dengan datangnya suatu mimpi, banyak orang zaman dahulu yang menyebutkan sebagai pesan dari Tuhan berupa wasiat atau teka teki untuk membantu menyelesaikan permasalahan, karenanya banyak buku yang memuat makna tafsir mimpi, beberapa yang terkenal adalah kitab tafsir mimpi dari negara Arab, China dan India. Namun berdasarkan perubahan zaman saat ini, para ilmuan lebih tertarik mengaplikasikan mimpi sebagai suatu bentuk therapy atau pengobatan bagi seseorang dengan beberapa keluhan psikologis yang mereka derita.

Pengalaman-pengalaman yang dimiliki oleh seseorang mengenai suatu peristiwa yang baik ataupun tercela, memalukan atau membanggakan, erotis atau luhur, umumnya akan selalu ada dalam ingatan. Entah pada akhirnya akan mereka repress kedalam alam bawah sadar atau mereka manipulasi menjadi perilaku baru yang ia miliki, tentunya dapat tetap terlihat dari sikap yang tanpa sadar merepresentasikan pengalaman tersebut. Tahap perkembangan life span seseorang sudah tentu tidak berjalan semulus siklus yang semestinya, beberapa peristiwa yang kian terjadi memberikan pengaruh atas konsep pemahaman dan value tersendiri. Hal tersebutlah yang menjadi pemicu utama timbulnya gejala ketidakstabilan emosi, akan kondisi psikologis berupa syndrome patologi tertentu. Terkait hal tsb pendekatan akan metode penyembuhan penyakit mental coba diungkap pertama kali oleh Sigmun Freud yang mengusung konsep “Analisis Mimpi.” 

Mengacu kepada pendekatan tunggal Sigmun Freud tentang alam bawah sadar sebagai fokus dari proses penyembuhan, mengaplikasikan mimpi sebagai reaksi atas impuls terpendam yang tidak terwujud kepada perilaku seseorang saat bersosialisasi dengan lingkungannya. Umumnya ahli terapis tsb meminta klien untuk menceritakan mimpi yang dialami atau bahkan membuat mereka merasa relax mengantarkan gelombang otak kepada fase Delta, dengan kecepatan gelombang otak sebesar 0,5-4 Hz yakni saat gelombang otak semakin melambat, saat klien sedang berada pada kondisi tidur yang sangat dalam, diiringi dengan pelepasan hormon pertumbuhan manusia (Human Growth Hormone). Saat kondisi gelombang Delta dihasilkan seseorang akan berada pada kondisi terjaga, hingga menyediakan peluang untuk mengakses aktivitas alam bawah sadar, yang mendorong aliran kepikiran sadar dan sering kali memiliki perasaan kuat terhadap empati dan intuisi hingga menghasilkan emosi positif akan sebuah makna penghayatan mengenai sesuatu yang pernah klien alami.